GATRABALI.COM, JEMBRANA – Dalam ajaran Hindu Bali, segala bentuk upacara didasarkan pada konsep keseimbangan dan yadnya (persembahan suci). Pengerupukan dan pengarakan ogoh-ogoh merupakan bagian dari upacara Tawur Kesanga, yang bertujuan untuk menyucikan bhuana agung dan bhuana alit dari pengaruh negatif buta kala.
Menurut Ngah Edy tokoh muda dari Br Yeh Mekecir Jembrana sekaligus Pendiri Yayasan Janur Shakti / pemilik terapi Jnana Marga Bali, beberapa orang berpendapat bahwa jika pengarakan ogoh-ogoh dilakukan tidak pada waktu yang ditentukan, maka buta kala yang seharusnya “diberi makan” melalui banten caru tidak akan menerima persembahan sebagaimana mestinya. Dari sinilah muncul perumpamaan “mengundang buta kala tanpa memberi makan”, yang menggambarkan bahwa arwah atau energi negatif tetap dipanggil tetapi tanpa adanya ritual penyeimbang yang sesuai.
Namun, pandangan ini dapat diperdebatkan. Mengapa?
Esensi Yadnya Lebih dari Sekadar Waktu
Ditambahkan Ngah Edy, riitual dalam Hindu Bali tidak hanya soal ketepatan waktu, tetapi juga niat (tatwa) dan proses (upacara). Selama ritual tetap dilakukan dengan niat suci, sarana upakara lengkap, dan didasari pemahaman yang benar, maka maknanya tidak hilang meskipun waktunya berbeda dari yang biasa dilakukan.
Buta Kala Bukan Hanya Soal “Diberi Makan”
Konsep buta kala bukan hanya entitas yang harus “diberi makan” agar tidak mengganggu, tetapi bagian dari siklus energi yang perlu diseimbangkan. Ritual pengerupukan, termasuk pengarakan ogoh-ogoh, bukan sekadar “memberi makan” tetapi juga sebagai simbol pengendalian diri manusia terhadap sifat rajas dan tamas (nafsu dan kebingungan).
Tradisi Bersifat Dinamis
Kalender Bali memang menentukan waktu terbaik untuk upacara, tetapi tradisi juga berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
“Jika suatu komunitas mengarak ogoh-ogoh di luar waktu yang umum dilakukan tetapi tetap melaksanakan ritual dengan benar, esensinya tetap bisa dipertahankan,”pungkas Ngah Edy.
Jadi, anggapan bahwa ketidaktepatan waktu otomatis berarti mengundang buta kala tanpa memberi makan tidak sepenuhnya mutlak. Yang lebih penting adalah bagaimana ritual itu dilakukan dengan kesadaran spiritual, bukan hanya soal waktu secara kaku.(dy/gb)