GATRABALI.COM, BULELENG – Tari Nyenuk mungkin masih terdengar asing bagi sebagian masyarakat. Tarian sakral ini sarat akan filosofi yang mencerminkan keseimbangan antara manusia dan alam semesta, dikenal dalam ajaran Hindu Bali sebagai bhuana alit dan bhuana agung.
Beberapa waktu lalu, Tari Nyenuk tampil dalam rangkaian Upacara Padudusan Agung Menawa Ratna di Pura Desa/Bale Agung, Desa Adat Sangsit Dauh Yeh. Upacara besar ini hanya digelar setiap 74 tahun sekali, menjadikannya momen yang sangat langka dan sakral.
Bendesa Adat Sangsit Dauh Yeh, I Wayan Wisara, yang ditemui pada Jumat (2/5/2025), menjelaskan bahwa Tari Nyenuk tidak hanya memperlihatkan ekspresi spiritualitas masyarakat Bali, tetapi juga berfungsi sebagai simbol keharmonisan antara alam dan kehidupan manusia.
“Pada upacara piodalan, ngenteg linggih, hingga padudusan agung, Tari Nyenuk ditampilkan sebagai wujud rasa syukur atas anugerah dan perlindungan Tuhan. Tarian ini menjadi penutup dalam keseluruhan prosesi keagamaan,” ujar Wisara.
Penari Nyenuk mengenakan busana berwarna-warni yang sarat makna. Merah mewakili keberanian, putih mencerminkan kesucian, kuning melambangkan kebijaksanaan, hitam sebagai simbol kekuatan dan ketenangan, sementara corak loreng menunjukkan keragaman dan keharmonisan.
“Tari ini juga berkaitan erat dengan pemujaan lima manifestasi utama Ida Sang Hyang Widhi Wasa di lima penjuru mata angin. Dewa Siwa di timur (putih), Dewa Brahma di selatan (merah), Mahadewa di barat (kuning), Dewa Wisnu di utara (hitam), serta pusat yang merupakan panca datu,” imbuhnya.
Sebelum pertunjukan dimulai, penari menjalani prosesi memasar di bale pedanaan. Tradisi ini mencerminkan kontribusi masyarakat dalam kehidupan sosial dan ekonomi yang diibaratkan seperti aktivitas di pasar.
“Ritual memasar adalah simbol dinamika kehidupan masyarakat, terutama dalam konteks budaya dan ekonomi,” katanya.
Tari Nyenuk tidak hanya melibatkan sekelompok kecil orang, melainkan partisipasi dari berbagai lapisan masyarakat, tanpa memandang usia atau status sosial. Hal ini menunjukkan bahwa pelestarian budaya adalah tanggung jawab bersama lintas generasi.
Dalam ritual ini, laki-laki dan perempuan memiliki peran berbeda dalam membawa persembahan. Kaum pria mengusung ‘tegen-tegenan’ berisi hasil bumi seperti kelapa, buah, tebu, dan umbi-umbian, sementara kaum wanita membawa beras, bunga, gula, dan sesajen.
“Persembahan ini adalah bentuk rasa syukur mendalam atas kelimpahan hidup yang telah diberikan,” ucap Wisara.
Selain di dalam pura, tarian ini juga menjadi bagian dari pawai adat sejauh kurang lebih 1 kilometer. Pawai dimulai dari Pura Desa Sangsit, mengitari area pasar, lalu kembali ke pura. Seluruh warga antusias mengikuti arak-arakan ini dengan membawa makanan tradisional serta hasil pertanian.
Tradisi ini menjadi bukti nyata bahwa budaya lokal tetap hidup dan lestari meski di tengah gempuran zaman modern. Keterlibatan semua generasi menunjukkan bagaimana nilai budaya diturunkan secara berkelanjutan.
“Upacara ini merupakan gambaran nyata dari kekayaan budaya Bali, yang mengajarkan nilai kebersamaan, rasa syukur, dan pentingnya menjaga tradisi bagi generasi yang akan datang,” pungkas Wisara.(adv/gb)