GATRABALI.COM, TABANAN – Kepulan asap tebal yang berasal dari Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Mandung, Tabanan, Bali, kini semakin parah dan menjadi ancaman serius bagi kesehatan warga sekitar, terutama masyarakat Desa Kukuh Kelod yang hanya berjarak sekitar 1,5 kilometer dari lokasi TPA.
Kondisi ini telah berlangsung selama bertahun-tahun, namun dalam beberapa waktu terakhir, dampaknya semakin dirasakan warga. Nyoman Rukun, salah satu warga Desa Kukuh Kelod yang ditemui pada Selasa, 20 Mei 2025, menyatakan bahwa gunungan sampah di TPA Mandung sudah mengganggu kehidupan masyarakat sejak lebih dari 15 tahun lalu.
“Asap dari TPA itu sangat mengganggu, terutama pada sore hingga malam hari. Kami sudah lama merasakan dampaknya, khususnya dari segi kesehatan seperti sesak napas dan iritasi saluran pernapasan,” ujar Nyoman.
Menurut Nyoman, kepulan asap yang kerap membumbung dari area TPA tidak hanya menyebabkan bau tak sedap, namun juga menyelimuti pemukiman warga dengan kabut asap pekat, terutama ketika angin bertiup ke arah desa. Bahkan, dalam kondisi tertentu, asap ini bisa mencapai pusat kota Tabanan, tergantung arah dan kekuatan angin.
Kepala adat Desa Kukuh Kelod, Ketut Sukratmaja, membenarkan keluhan masyarakat tersebut. Ia menjelaskan bahwa pemerintah desa sebenarnya telah melakukan berbagai upaya untuk menangani masalah ini, termasuk melakukan pemadaman api di area TPA.

“Pemerintah desa sudah berkoordinasi dengan pihak terkait untuk pemadaman kebakaran sampah. Banjar adat juga pernah mengusulkan pemindahan atau penggeseran lokasi TPA, namun rencana tersebut ditolak oleh sebagian masyarakat dengan berbagai alasan,” jelasnya.
Namun, warga merasa bahwa langkah-langkah tersebut belum cukup. Mereka mendesak adanya perhatian lebih dari pemerintah daerah, khususnya dalam bentuk kebijakan pengelolaan sampah berbasis sumber dan penggunaan teknologi yang lebih modern serta ramah lingkungan. Mereka berharap ada solusi jangka panjang, bukan hanya pemadaman sesaat atau pembagian masker yang bersifat sementara.
Masalah utama yang menyebabkan terus terjadinya kebakaran dan kepulan asap di TPA Mandung adalah tidak adanya sistem pengolahan sampah yang memadai. Sampah yang terus-menerus menumpuk tanpa pengelolaan menyebabkan timbulnya gas metana yang mudah terbakar.
Gas ini muncul sebagai hasil dari proses pembusukan sampah organik yang berlangsung di dalam timbunan sampah, terutama ketika tumpukan sampah mencapai ketinggian dan kepadatan tertentu.
Kekhawatiran warga tidak hanya berhenti pada gangguan pernapasan. Mereka mulai mencemaskan potensi pencemaran lingkungan yang lebih luas.
“Kalau terus begini, bukan tidak mungkin limbah dari TPA akan mencemari sumber air di sekitar, dan itu akan berdampak lebih buruk lagi,” tambah Nyoman Rukun.
Selain warga lokal, dampak asap dari TPA Mandung juga mulai dirasakan oleh para wisatawan yang berkunjung ke kawasan wisata di Kecamatan Kerambitan. Sejumlah tamu hotel dan villa dilaporkan mengeluhkan bau asap dan udara yang tidak bersih.
Hal ini tentu saja berpotensi merugikan sektor pariwisata daerah yang selama ini menjadi salah satu tulang punggung ekonomi lokal.
TPA Mandung sendiri telah beroperasi sejak tahun 1980-an dan awalnya dijanjikan akan dikelola dengan baik oleh pemerintah. Namun kenyataannya, selama lebih dari empat dekade, pengelolaan sampah di tempat ini belum menunjukkan perbaikan yang signifikan.
Infrastruktur pengelolaan sampah yang minim, ditambah meningkatnya volume sampah dari waktu ke waktu, membuat TPA ini tidak lagi mampu menampung dan mengolah limbah dengan layak.
Meskipun pemerintah daerah pernah melakukan aksi darurat seperti mengerahkan pemadam kebakaran dan membagikan masker kepada warga terdampak, masyarakat menilai bahwa langkah-langkah tersebut belum menyentuh akar permasalahan.
Warga Kukuh Kelod kini menaruh harapan besar kepada pemerintah kabupaten maupun provinsi untuk segera mengambil langkah strategis. Solusi ideal yang diharapkan mencakup pembangunan sistem pengolahan sampah modern seperti waste-to-energy, daur ulang berbasis komunitas, atau relokasi TPA dengan teknologi pengelolaan terkini.
“Ini bukan hanya tentang bau tidak sedap, tapi tentang hak dasar masyarakat untuk hidup sehat,” tutup Ketut Sukratmaja.(ri/gb)