Rabu, Maret 26, 2025
BerandaBaliKomang Gases: Ogoh-ogoh Warisan Budaya Bali dalam Dinamika Seni dan Ritual

Komang Gases: Ogoh-ogoh Warisan Budaya Bali dalam Dinamika Seni dan Ritual

GATRABALI.COM, DENPASAR – Rangkaian Hari Suci Nyepi di Bali seakan tak dapat dipisahkan dari kehadiran Ogoh-ogoh. Bahkan Ogoh-ogoh tak hanya diarak berkeliling desa saat malam Pengerupukan atau sehari menjelang Nyepi, namun dalam beberapa tahun terakhir juga ditampilkan dalam kemasan perlombaan ataupun festival.

Ogoh-ogoh yang hadir diperkaya dengan ekspresi seni yang kian menarik, menjadi simbol kreativitas masyarakat dalam memahami konsep Bhuta Kala, dan sekaligus sebagai media edukasi budaya bagi generasi muda.

Akademisi Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar Dr Komang Indra Wirawan SSn MFil H atau akrab disapa Komang Gases ini mengatakan, meskipun bentuk modern Ogoh-ogoh mulai berkembang luas sejak 1980-an, konsep arak-arakan patung raksasa yang melambangkan Bhuta Kala (kekuatan negatif) ini telah ada sejak zaman dahulu.

“Tradisi ini semakin populer sejak tahun 1983, pertama kali dipentaskan di Desa Kesiman, Denpasar, kemudian diperkenalkan secara luas pada Pesta Kesenian Bali (PKB) XII tahun 1990,” kata Komang Gases, di Denpasar, Selasa, 25 Maret 2025.

Sejak itu, lanjut dia, Ogoh-ogoh menjadi bagian dari Tawur Kesanga, yaitu upacara penyucian alam menjelang Nyepi, yang kemudian berkembang sebagai ekspresi seni, kreativitas, dan ajang kompetisi bagi masyarakat Bali.

“Untuk mempertahankan serta melestarikan budaya ini, berbagai pihak seperti pemerintah, desa adat, yowana (pemuda), dan instansi terkait sering mengadakan perlombaan Ogoh-ogoh. Namun, menciptakan Ogoh-ogoh berkualitas tinggi memerlukan pemahaman mendalam terhadap beberapa aspek penilaian,” ucapnya

Komang Gases yang juga menjadi juri lomba Ogoh-ogoh Kasanga Fest ini mengungkapkan, perlombaan Ogoh-ogoh dinilai berdasarkan empat aspek utama.

Baca Juga  Penuhi Kebutuhan Pokok Jelang Hari Raya, Pemkot Denpasar Gelar Bazzar Pangan

Pertama, Ideoplastis (Konsep dan Ide). Aspek ini menilai makna filosofis dan tematik dari Ogoh-ogoh yang dibuat. Ogoh-Ogoh sering terinspirasi dari mitologi Hindu, seperti kisah dalam Ramayana, Mahabharata, atau legenda rakyat Bali.

Selain itu, tema juga dapat diangkat dari fenomena sosial yang berkembang di masyarakat. Konsep yang baik harus memiliki pesan moral yang relevan dengan kehidupan masyarakat Bali.

Gagasan dalam menampilkan tokoh yang dipilih harus unik dan inovatif. Interpretasi baru terhadap karakter yang sudah dikenal akan memberikan daya tarik tersendiri dan memperkuat nilai artistiknya. Semakin kuat konsep dan ide yang disampaikan, semakin tinggi pula nilai aspek ideoplastis dalam lomba.

Kedua, Psikoplastis (Bentuk dan Struktur Fisik). Kriteria ini menilai bagaimana konsep dan ide diwujudkan dalam bentuk visual Ogoh-ogoh. Dari sisi proporsi (jejaeg) ukuran dan bentuk Ogoh-ogoh harus seimbang dan harmonis, mencerminkan karakter yang diangkat. Dari sisi anatomi detail tubuh, ekspresi wajah, dan postur Ogoh-ogoh harus sesuai dengan karakter. Misalnya, tokoh raksasa harus terlihat menyeramkan, sedangkan tokoh dewa harus memiliki aura keagungan.

Dari sisi warna pemilihan warna Ogoh-ogoh harus sesuai dengan karakter dan memiliki makna simbolis. Misalnya Merah untuk kemarahan, keberanian, Hitam untuk kekuatan gelap, dan Emas untuk keagungan.

Dari sisi keserasian dan keseimbangan seluruh elemen visual Ogoh-ogoh harus selaras, baik dalam bentuk, warna, maupun ekspresi. Dari sisi ekspresi gestur dan ekspresi wajah Ogoh-ogoh harus dapat menyampaikan emosi karakter secara kuat.

Sementara dari sisi konstruksi rancang bangun Ogoh-Ogoh harus memiliki struktur yang kokoh dan seimbang, karena akan diarak dalam pawai.

Baca Juga  Kaling Diminta Kompak Dalam Menyukseskan Jembrana Emas 2026

“Aspek psikoplastis sangat menentukan kualitas estetika dan daya tarik visual Ogoh-ogoh secara keseluruhan,” ujar Ketua Yayasan Gases Bali itu.

Ketiga, yakni kreativitas (originalitas, inovasi, dan ornamen pendukung). Aspek ini menilai sejauh mana Ogoh-ogoh menawarkan sesuatu yang baru dan berbeda. Dari sisi originalitas konsep yang diangkat harus unik dan tidak sekadar meniru desain yang sudah ada. Dari sisi inovasi penggunaan teknik baru dalam pembuatan, material tidak biasa, atau mekanisme gerak modern, seperti mekanisme hidrolik atau elektrik, dapat meningkatkan nilai inovasi. Dari sisi ornamen pendukung ornamen seperti pakaian, aksesoris khas, atau elemen tambahan seperti efek pencahayaan dapat memperkaya visual Ogoh-ogoh.

“Aspek kreativitas menjadi faktor utama yang membedakan satu Ogoh-ogoh dengan yang lainnya,” katanya.

Keempat adalah, seni rupa pertunjukan Ogoh-ogoh. Komang Gases menjelaskan, selain sebagai karya seni rupa, Ogoh-ogoh juga harus mampu berfungsi sebagai elemen pertunjukan yang dinamis. Dari sisi gerakan dan dinamika misalnya beberapa Ogoh-ogoh dibuat dengan teknik mekanik, seperti kepala yang bisa berputar atau tangan yang bisa mengayun, untuk menambah daya tarik pertunjukan.

Dari sisi interaksi dengan penonton Ogoh-ogoh yang mampu membangun suasana dan melibatkan emosi penonton akan memberikan kesan yang lebih mendalam. Sementara, dari sisi keselarasan dengan musik tradisional pawai, Ogoh-ogoh biasanya diiringi oleh gamelan baleganjur. Keserasian antara gerakan Ogoh-ogoh dan irama musik meningkatkan kekuatan pertunjukan.

“Keseluruhan penyajian Ogoh-ogoh tidak hanya dinilai dari bentuknya, tetapi juga dari bagaimana ia diarak dan dipertunjukkan secara keseluruhan,” kata Komang Gases menegaskan.

Baca Juga  Toya Ubud, Destinasi Healing Baru di Bali dengan Nuansa Alam dan Budaya

Ogoh-ogoh: Budaya atau Ritual Keagamaan?

Seiring perkembangan zaman, Ogoh-ogoh juga menghadapi berbagai tantangan. Sejak tahun 2005, ada anggapan bahwa Ogoh-ogoh sering menjadi ‘kambing hitam’, terutama saat pemilu atau peristiwa lain yang menimbulkan kekhawatiran akan gangguan ketertiban. Beberapa pihak juga mengkritik waktu pementasan yang terkadang tidak sesuai dengan Hari Pengerupukan, serta dampak lalu lintas yang ditimbulkan oleh arak-arakan Ogoh-ogoh.

Meskipun menghadapi berbagai tantangan, Komang Gases mengatakan Ogoh-ogoh tetap memiliki nilai sosial yang besar. Tradisi ini dapat mempersatukan generasi muda, memperkuat hubungan sosial antarwarga, serta menjadi ajang kompetisi seni yang positif.

Komang Gases mengungkapkan, jika ditinjau dari perspektif tradisi asli, sebelum Ogoh-ogoh populer, masyarakat Bali sudah menjalankan Meubu-ubu sebagai ritual pembersihan sebelum Catur Brata Penyepian. Pengerupukan, yang bertujuan menetralisir Bhuta Kala, tetap dapat dilakukan tanpa Ogoh-ogoh, cukup dengan memukul kentongan atau menghamburkan api (obor).

“Tanpa Ogoh-ogoh, Hari Raya Nyepi dan Tilem Kesanga tetap berjalan sesuai ajaran Hindu Bali,” ucap Komang Gases.

Meski demikian, lanjutnya, dengan hadirnya Ogoh-ogoh, budaya Bali semakin kaya dengan ekspresi seni yang menarik. Meskipun bukan bagian dari ritual utama, Ogoh-ogoh menjadi simbol kreativitas masyarakat dalam memahami konsep Bhuta Kala, sekaligus sebagai media edukasi budaya bagi generasi muda.

“Ogoh-ogoh bukan hanya sekadar arak-arakan, tetapi juga karya seni massal yang merepresentasikan kreativitas masyarakat Bali. (ism/gb)

RELATED ARTICLES
- Advertisment -

Most Popular

Recent Comments