GATRABALI.COM, BULELENG – Kabupaten Buleleng dengan 148 desa dan kelurahan tentunya memiliki banyak potensi, dan sektor pertanian serta perkebunan merupakan sektor unggulan dalam menopang ekonomi daerah ini.
Salah satu cerita inspiratif datang dari Desa Lokapaksa, yang terletak di Kecamatan Seririt, Kabupaten Buleleng. Desa ini memiliki luas wilayah sekitar 2.884 hektar, di mana hampir seperempat lahan, sekitar 858,991 hektar, saat ini berstatus sebagai lahan kering.
Namun, siapa sangka bahwa lahan kering ini dapat diubah menjadi ladang pertanian yang menghasilkan omset puluhan juta rupiah setiap bulannya.
I Gusti Bagus Sumertana, seorang pria berusia 61 tahun, adalah sosok yang telah sukses dalam mengubah 1 hektar lahan keringnya menjadi ladang kelor yang menghasilkan omset puluhan juta per bulan. Ia menceritakan awal perjalanan ini di kediamannya pada Sabtu 9 September 2023.
Pada tahun 1998, banyak keluarga di sekitar Desa Lokapaksa meninggal dunia karena tidak mampu membiayai pengobatan, dan biaya pengobatan kimia saat itu juga sangat mahal. Kondisi tersebut memicu rasa penasaran besar dalam diri Gusti Bagus untuk mempelajari obat-obatan herbal, yang dianggapnya lebih terjangkau secara ekonomis.
Gusti Bagus kemudian mengikuti berbagai seminar dan mulai mengenal manfaat tanaman kelor sekitar tahun 2010. Namun, ia tidak langsung memutuskan untuk menanam kelor. Pada tahun 2013, ia bahkan memutuskan untuk bekerja di Desa Pelaga, Badung, untuk mendapatkan pengetahuan lebih lanjut dalam dunia agribisnis. Posisinya saat itu adalah Agro Manager.
Dengan pengalaman yang ia kumpulkan, Gusti Bagus akhirnya menyadari potensi lahan di kampung halamannya untuk menanam kelor. Ia memulai usahanya dengan modal sekitar 1 jutaan rupiah. Dari uang tersebut, ia membeli dua kilogram biji kelor seharga 600 ribu rupiah dan sisanya digunakan untuk membeli pupuk organik yang akan digunakan untuk merawat pohon kelor.
“Prosesnya dimulai dengan penyemaian biji selama dua minggu hingga muncul bibit kelor. Delapan minggu kemudian, bibit kelor sudah siap untuk ditanam, dengan sedikit pemangkasan untuk memperkuat batang,”jelasnya.
Pohon kelor ditanam dalam lubang berukuran 30×30 centimeter, dan lubang tengahnya diperdalam untuk memperkuat akar tunggang.
Untuk memastikan pertumbuhan yang baik, pohon kelor disiram sedikit menggunakan air laut karena mengandung mineral. Kemudian, setelah disiram dengan air laut, mereka menggunakan bio-urine dan campuran tanah yang telah dicampur dengan Trichoderma untuk mempercepat pertumbuhan pohon kelor.
Gusti Bagus juga memberikan tips bahwa menanam kelor sebaiknya dilakukan pada bulan Desember, sehingga panen bisa lebih cepat terjadi sekitar bulan Maret, karena musim hujan turun. Panen pertama hanya memerlukan pemangkasan sekitar 30 hingga 40 sentimeter dari panjang pohon. Setelah itu, pohon kelor dapat dipanen setiap 35 hari, sehingga dalam setahun bisa mencapai 10 kali panen. Masalah hama seperti ulat pemakan daun dan rayap bisa diatasi dengan berbagai cara tanpa merusak rayapnya.
Hasil rata-rata panen pohon kelor milik Gusti Bagus mencapai 500 kilogram per bulan, dengan harga jual per kilogramnya mencapai Rp 6 ribuan untuk daun masih basah, dan Rp 75 ribuan untuk daun kelor kering. Harga daun kelor kering lebih tinggi karena dibutuhkan 5 hingga 6 kilogram daun basah untuk menghasilkan 1 kilogram daun kering.
Hasil panen kelor ini tidak hanya dijual mentah, melainkan juga diolah menjadi tiga produk kemasan yang berkhasiat untuk kesehatan dan kecantikan. Ketiga produk tersebut adalah Serbu Kelor Original, Kopi Jahe Kelor, dan Teh Hijau Kelor dengan merek AJI MORINGA. Dalam sebulan, omset penjualan produk-produk ini mencapai Rp 7,5 sampai Rp 10 jutaan. Selama pandemi COVID-19, permintaan produk ini meningkat, terutama untuk produk Kopi Jahe Kelor, yang banyak diminati oleh penduduk Jakarta.
Meski kesuksesan ini telah diraih, Gusti Bagus menghadapi beberapa kendala dalam pengembangan produknya. Salah satu kendala utama adalah dipermodalan dan ketersediaan bahan baku yang masih terbatas, terutama karena tanaman kelor masih jarang ditanam di Kabupaten Buleleng. Meskipun Gusti Bagus memiliki kelompok tani yang menanam kelor di desanya, hal itu masih belum cukup untuk memenuhi permintaan pasar. Oleh karena itu, ia harus mencari bahan baku di luar Buleleng.
Meski menghadapi berbagai kendala, Gusti Bagus berharap bahwa tanah kering di Kabupaten Buleleng dapat digunakan untuk menanam kelor, karena manfaatnya sangat banyak. Ia bermimpi untuk membuat agrowisata berbasis budidaya kelor di masa depan.
Kisah inspiratif I Gusti Bagus Sumertana adalah bukti nyata bahwa dengan tekad dan pengetahuan yang cukup, lahan yang awalnya tidak berguna seperti lahan kering dapat diubah menjadi ladang yang menghasilkan, memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal, dan bahkan meningkatkan kesehatan melalui produk-produk kesehatan herbal yang dihasilkan dari kelor. (adv/gb)